Saya teringat ketika SMP dan SMA, di mana saya sangat membenci satu ilmu, yakni matematika. Bahkan, menulis yang saya lakukan sekarang itu, saya benci sewaktu SMP. Tapi kalau mengingat hal-hal yang saya benci dulu, justru itu yang menjadi rutinitas saya. Setiap saya termakan dengan kebencian masa lalu, saya teringat dengan pesan Imam Ali bin Abi Thalib Kw. bahwa kita tidak boleh terlalu membenci sesuatu, karena bisa saja kemudian hari kita sangat mencintainya dan jangan juga terlalu mencintai sesuatu. Karena bisa saja kita sangat membencinya kemudian hari.
Sebelumnya, di sini saya konsepsikan matematika sebagai sesuatu yang berkaitan dengan angka dan hitungan. Sebab, kalau disebutkan “matematika” orang tidak akan membayangkan yang jauh-jauh dari gambaran itu. Maksud menjadi “agamis” di sana adalah orang yang mempelajari agama. Karena kalau belajar agama, masyarakat itu memandang si pelajar itu sebagai orang yang agamis. Dan agama kerap dipertentangkan dengan ilmu-ilmu dunia, termasuk matematika.
Ada banyak hal yang sangat saya sukai tempo hari, tapi saat ini kurang saya sukai. Seperti bermain game, itu hobi saya dulu. Bahkan, pernah sekali menjuarai turnamen ketika bermain game. Teman-teman les dan sekolah masa SMP itu, sangat mengakui kemampuan saya dalam bermain game genre FPS (First Person Shooter). Tapi, hari ini main game bukan lagi prioritas saya. Dia itu opsi paling terakhir kalau memang saya lagi gabut dan kalau kewajiban saya sudah selesai plus tidak ada lagi yang bisa saya tonton.
Ada satu keluhan dari saya dan teman-teman waktu SMP dan SMA itu, kenapa kita di sekolah agama belajar matematika, sementara malaikat di kubur tidak akan bertanya tentang rumus Phytagoras, bangun ruang, pecahan, dan lain-lain? Belakangan, yang mematahkan pertanyaan yang saya buat itu adalah saya sendiri.
Ceritanya, saya masih kelas 2 SMA dan waktu itu masih awal-awal semester satu. Saya melihat beragam kemampuan yang bisa dilakukan teman-teman saya sementara saya hanya mentok di pelajaran nahwu, itupun masih terbata-bata membaca kitab. Saya mendengar kisah Imam Bukhari dan Ibnu Al-Jauzi yang kedua-duanya pakar hadis. Imam Bukhari itu nomor satu di bidang hadis shahih. Sementara Imam Ibnu Al-Jauzi itu sosok ulama yang ahli di bidang hadis palsu. Ibnu Al-Jauzi jika ingin menjadi nomor satu, maka beliau bisa menjadi nomor satu di bidang lain yang masih dinaungi dengan nama besar hadis. Itulah kitab beliau yang terkenal, Al-Maudhu’ât yang berisi hadis-hadis palsu. Ditambah lagi guru saya yang bernama Ust. Hamzah Ki Baderan, Ahli Ushul Fikih ketika mengajari saya di kelas 1 semester awal, beliau menceritakan sejarah perkembangan ilmu ushul fikih. Beliau banyak menceritakan Imam Al-Nawawi yang bisa menguasai banyak bidang. Di sinilah saya benar-benar termotivasi dan memberanikan diri keluar dari zona nyaman.
Saya penasaran dan ingin mencoba ilmu-ilmu yang tidak dicicipi di sekolah. Setiap pekan, pasti saya pulang dan membawa buku baru (di sini kebiasaan membeli buku saya terbentuk). Langganan saya adalah Gramedia, saya membeli buku-buku logika dan psikologi. Bagi kebanyakan orang di kelas dulu, memandang ini sebagai ilmu yang sangat sulit. Katanya setara dengan matematika, apalagi ditambah dengan kosakata sakti; filsafat. Saya mulai menyelami logika, filsafat, dan psikologi. Anehnya, kenapa semua ilmu ini tingkat kesulitannya sama dengan yang saya pelajari? Padahal ada yang membedakan ilmu-ilmu ini.
Ada dua buku favorit saya dulu, yaitu Filsafat Islam karya Prof. Dr. Sirajuddin Zar dan Logika karya Drs. H. Mundiri. Ini yang selalu saya baca, entah itu jam istirahat, jam kosong sore, atau kalau hari libur di pos sekolah, bawah pohon mangga. Saya sangat menikmati bacaan itu, apalagi waktu itu sangat sepi. Di sini, muncullah satu pertanyaan besar yang mulai mendobrak mindset saya waktu itu “Apa yang membuat saya tidak menyukai matematika? Apakah hanya karena saya tidak paham lalu saya memusuhinya? Ataukah matematika yang saya benci itu berdasarkan kebencian orang lain? (Maksudnya, saya membenci karena hasutan orang dan kebencian orang) dan sejauh mana yang saya tahu tentang matematika? Sementara saya mulai mempelajari ilmu-ilmu yang tidak ada di sekolah dan tidak mengatakan susah sebagaimana matematika itu“. Di sini saya mulai ragu dengan kebencian yang saya ciptakan sendiri.
Belakangan, entah saya kelas 3 SMA atau sudah tamat, saya bertemu secara online dengan sosok pakar matematika detik, Ust. Ahmad Thoha Faz. Saya membaca uraiannya (sebelum saya tahu bahwa beliau adalah penemu teori baru matematika) dan yang terlintas di pikiran saya bahwa beliau adalah seorang filusuf. Tidak ada sedikit pun tanda bahwa beliau adalah pakar matematika.
Ada satu uraian beliau yang menarik, yakni sebenarnya seluruh ilmu itu sudah ada dalam diri kita. Hanya saja di alam nyata, sesuatu yang disebut ilmu itu diubah ke bentuk yang lain sampai kita tidak mengenalinya. Padahal ketika kita mencermati dan membacanya lebih dalam, akal kita bisa memahaminya. Itu artinya makna-makna yang terselip di balik bahasa yang tidak kita kenali itu, sebenarnya dikenali oleh akal. Kapan kita bisa menggalinya? Ketika akal kita diberitahu bahwa yang dimaksud dengan istilah “A” adalah ini dan itu. Di sini pikiran saya terbentuk lagi, memandang sebuah istilah sebagai sebuah ketiadaan. Dia ada sebagai mediasi kepada makna yang menjadi tujuan istilah itu. Ketika kita sudah sampai ke tujuan, untuk apa kembali ke jalan medium jika sudah sampai ke tujuan? Masalahnya, makna tidak akan bisa sampai kecuali ada bahasa yang menjadi medianya. Itu pertama. Masalah kedua, orang menganggap bahasa itu benar-benar ada, padahal tujuannya adalah makna.
Matematika bagi saya sekarang adalah sebuah bahasa, kumpulan simbol yang keduanya menunjukkan kepada makna. Kenapa orang Rusia tidak bisa membaca tulisan ini? Karena mereka melihat tulisan ini sebagai suatu hakikat yang benar-benar ada, tidak melihat makna yang ada di balik tulisan ini. Mereka melihat sesuatu yang sebenarnya metafora sebagai sesuatu yang benar-benar ada, padahal sejatinya yang ada adalah makna itu sendiri.
Memangnya kenapa jika tulisan dan istilah itu dianggap ada? Orang akan berkutat pada istilah-istilah dan simbol rumus saja, tidak akan mencapai hakikat dan tujuan yang diinginkan ilmu itu. Atas dasar ini, saya tidak membenci matematika lagi. Saya memandang bahwa matematika itu ada; ada sebagai makna. Ini yang pernah saya utarakan pada salah satu tulisan yang lalu.
Kemudian, semakin ke sini saya semakin sadar kalau hakikat ilmu itu sebenarnya satu. Mungkin ini yang dirasakan oleh para mujtahid itu, menggali Al-Qur’an dengan “kesatuan ilmu” yang ada dalam dirinya. Wajar, kalau mereka melihat Al-Qur’an sebagai misteri tanpa ujung, sebuah makna yang tidak terbatas karena dia adalah mukjizat.
Tanpa matematika, kita tidak akan melihat bangunan-bangunan yang kokoh hari ini. Kita tidak akan bisa menentukan arah kiblat dari arah yang jauh. Kita tidak bisa memprediksi rotasi planet, evolusi, dan yang lain-lain di angkasa luar sana. Kita tidak akan bisa menghitung zakat dan warisan. Masih banyak lagi manfaat dari matematika itu.
Ketika saya belajar ilmu waris, di sana banyak memakai pecahan, bilangan desimal, perkalian, pembagian, dan lain-lain. Di sini saya menjawab keluhan saya yang dulu, memang malaikat di alam sana tidak akan pernah menanyakan kita tentang teori matematika, tapi dengan matematika, hak waris orang bisa terpenuhi. Bukankah di akhirat kita dituntut tentang hak orang yang ada dalam tanggungan kita, termasuk hak warisan itu? Dengan matematika, ada banyak hal-hal baru yang lahir di dunia ini. Bahkan zakat, yang pakai persenan ketika harta sampai satu tahun, maka harus dikeluarkan 2,5% dari total harta itu. Ini zakat, salah satu rukun Islam, pilar inti. Bagaimana kita menghindari matematika dalam keadaan seperti ini?
Apakah matematika itu sulit? Saya tidak akan menjawab iya atau tidak. Sebab, saya memandang bahwa kesulitan dan kemudahan itu bukan pada ilmu itu sendiri, tapi ada pada pikiran yang kita buat tentang ilmu itu. Seandainya kesulitan ada pada ilmu itu sendiri, kenapa ada orang merasa mudah pada suatu ilmu? Orang banyak menganggap filsafat, matematika, pelajaran-pelajaran di kuliah bahasa Arab itu sulit dan mematikan karena apa? Menurut observasi saya, orang menilai itu hanya karena “anggapan orang secara luas”, bukan karena ilmu itu sendiri. Bagaimana itu ceritanya kita menganggap drakor jelek sementara kita belum menontonnya dan hanya mendengar stigma saja? Itu tidak ada bedanya dengan orang Barat yang memendang buruk Islam berdasarkan framing media dan doktrin masyarakat, bukan mengkaji Islam itu sendiri dari ahlinya.
Ada bagian yang sudah membuat saya kokoh, bahwa ilmu itu sebenarnya bisa bergandengan, entah ilmu dunia atau akhirat. Yakni ketika Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi menjelaskan bahwa ilmu dunia itu bisa bernilai sama dengan ilmu syar’i jika ilmu itu mengantarkan kita sampai kepada Allah Swt. Walaupun kita hanya belajar matematika, IT, atau apa saja, yang jelas ilmu-ilmu itu membuat kita sampai kepada Allah Swt., maka kita sama saja dengan belajar ilmu syar’i. Juga, ilmu-ilmu dunia itu tidak bertentangan dengan ilmu akhirat. Alih-alih menyusahkan, malahan ilmu itu membantu urusan dunia kita. Bukankah menyeimbangkan dunia dan akhirat adalah perintah agama juga? Bukankah belajar adalah kegiatan baik dan mulia yang bernilai pahala? Bagaimana mungkin Tuhan tidak membalas kebaikan hamba-Nya, sementara Dia sendiri berfirman bahwa sekecil apapun kejahatan dan kebaikan, pasti akan dibalas?
Saya berprasangka baik pada semua ilmu, apapun itu. Saya tidak ingin menjadi orang yang memusuhi suatu ilmu hanya karena ketidaktahuan saja. Saya bukan pakar matematika ataupun psikologi. Jago juga tidak. Tapi, untuk memuliakan ilmu dan berprasangka baik, tidak harus menjadi pakar dulu. Mindset ini membuat saya berani dan tidak takut mempelajari hal-hal baru, bahkan jika itu dianggap sulit oleh banyak orang.
Wallahu a’lam