Ada banyak hal yang menodorong saya menuliskan hal ini. Di antaranya adalah pertanyaan seputar ‘ain, realita kalau ilmu itu sudah tidak sejalan lagi dengan tindak-tanduk penuntut ilmu itu sendiri, dan renungan terhadap diri. Ada satu kalimat Socrates yang cukup menampar yang kurang lebih maknanya, orang yang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ilmunya (yang bermanfaat) itu sebenarnya bodoh.
Saya teringat nasehat-nasehat sang kiai di pondok dulu ketika membawakan kitab mukhtashar minhâj al-qâshidin karya Ibnu Qudamah, bahwa najis itu tidak hanya terbatas pada hal-hal zahir saja, tapi mencakup hal-hal yang bersifat batin. Contohnya, hati. Bahkan sang kiai menyebut kalau hati itu kotor, jiwa kita sebenarnya menjerit, hanya saja kita tidak merasakan itu.
Dulu, saya merasa kalau berbicara masalah akhlak dan hati, itu hal yang biasa-biasa saja. Sekarang tidak sebiasa dulu lagi. Itu dimulai ketika saya merenung dan bertanya-tanya kepada diri sendiri “apakah saya berilmu? Jika iya, lantas kenapa saya mengetahui pembahasan hati tapi kadang masih tidak mengamalkannya? Memandang enteng pun sudah melanggar itu. Jika memakai pandangan Socrates, maka saya sebenarnya sudah tidak tahu apa-apa. Karena keberadaan ilmu sendiri, tidak dapat saya buktikan dalam bentuk perbuatan. Sedangkan jika hanya bicara, masih lebih dipercaya perbuatan yang aktual”.
Pada kesempatan lain, saya sempat sama teman-teman telponan dengan sang kiai di Indonesia guna silaturahmi. Di antara nasehat yang beliau berikan, ada kutipan dari Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, yakni penuntut ilmu itu memiliki tiga tahapan. Pertama, mengokohkan akal. Kedua, membersihkan jiwa. Ketiga, membersihkan hati selain dari Allah. Kalau masih fokus pada ilmu tanpa ada niat membersihkan hati, berarti masih di tingkatan pertama. Di sini, saya sendiri sadar kalau ilmu tidak seberapa, masih banyak yang tidak saya tahu, jiwa masih kotor, lebih-lebih hati. Di tahap pertama saja, saya rasa sudah tidak layak. Mengapa? Ya saya tahu seberapa banyak yang saya tidak kuasai.
Di sisi lain, ketika saya belajar di hadapan Syekh Hisyam Kamil, beliau menyampaikan bahwa di antara sebab karangan ulama itu terkenal adalah hatinya yang ikhlas. Kisah Ibnu Al-Jurum bisa sendiri kita saksikan dalam catatan sejarah. Beliau mengatakan “Ya Allah, jika saya ikhlas, buatlah tulisan ini (kitab Al-Jurumiyyah) itu utuh tulisannya” alhasil, catatan itu utuh, masih kita pelajari hari ini. Saya merasa sangat malu dengan ulama-ulama besar yang namanya tersohor dalam kitab-kitab dan namanya terkenal dengan ilmunya. Mengapa? Mereka ikhlas. Saya malu, karena saya penulis, mereka juga penulis. Tapi, bedanya ada dalam hati. Jika saya merasa tinggi karena tulisan, lantas bagaimana dengan para ulama yang derajatnya jauh di atas itu hatinya masih berpasrah kepada Allah? Sedangkan saya yang ilmu saja kurang tapi tidak membenahi hati? Bagi saya, cukuplah itu menjadi dalil bahwa saya memang tidak tahu apa-apa.
Saya perlahan sadar, bahwa penuntut ilmu itu cacat jika hatinya kotor. Saya juga merasa kalau sejak awal guru-guru itu sudah mengetuk pintu hati, tapi kali ini baru saya sadar kalau ada mengetuk di sana. Ketukannya halus, hanya bilang persoalan hati (tasawuf) itu salah satu inti Islam. Saya hanya biasa saja dulu, karena menganggap ilmu hanya sekedar urutan dan teori. Tapi, saya meninjau kembali. Saya terkejut dengan hasilnya. Mengapa? Begini, inti Islam itu tiga. Pertama, akidah. Kedua, fikih. Ketiga, tasawuf. Islam itu tidak akan sempurna tanpa akidah, malahan Islam itu tidak ada dalam diri bagi yang mengingkarinya. Begitupun fikih, orang yang mengingkarinya dalam hal-hal inti (al-ma’lum min al-din bi al-dharurah) seperti salat, puasa, zakat, dan haji, itu bisa dikatakan kafir. Saya takut, jangan sampai karena saya tidak berakhlak (tasawuf), maka Islam itu tidak ada dalam diri saya. Kalaupun ada, maka Islam itu tidak sempurna. Karena akhlak mencerminkan kedamaian, sebagaimana Islam mencerminkan kedamaian. Jika saya mencerminkan kerusuhan, Islam yang mana saya cerminkan?
Di tempat saya kuliah, Al-Azhar, memiliki salah satu inti sebagaimana yang diajarkan Islam, yakni akhlak. Menurut Syekh Ali Jum’ah, seseorang tidak bisa dikatakan azhari jika dia tidak bertasawuf. Tentunya bertasawuf di sini, bukan hanya sekedar tahu apa itu tasawuf dari segi teori, buku-buku, dan tokoh-tokohnya. Tapi lebih dari itu. Tasawuf itu kata Syekh Musthafa Ridha Al-Azhari adalah tingkah laku (sulûk). Dengan bahasa yang lebih sederhana, seseorang bisa dikatakan bertasawuf jika dia memiliki tindak-tanduk yang sesuai dengan kebaikan dan visi-misi Islam. Kalau tidak, maka saat itu saya tidak bertasawuf dan jika demikian, maka saya tidak layak menyandang sebutan azhari walau kuliah di Al-Azhar. Tentu itu memalukan. Kenapa memalukan? Coba bayangkan saja, bagaimana jika anda mengaku-ngaku saya seperti ini dan itu tapi realitanya tidak sesuai dengan pengakuan itu? Saya sendiri malu kuliah di Al-Azhar tapi tidak mengamalkan apa yang menjadi unsur Al-Azhar itu sendiri.
Saya juga bersyukur karena Allah memberikan saya kesempatan untuk membenahi hati yang kotor ini. Saya juga bersyukur karena ada perkembangan dalam proses ini. Saya tidak menuhankan lagi ilmu seperti dulu. Semua harus ilmu, ilmu, dan ilmu. Padahal, kebijaksanaan lebih penting dari itu. Saya sendiri dulu sering bertanya-tanya, kenapa selama saya belajar, hidup saya menjadi kaku? Padahal sebelum saya belajar seserius ini, hidup saya mengalir seperti air saja. Dengan kata lain, keadaan saya sebelum belajar itu lebih baik daripada belajar. Karena perilaku saya yang kaku. Jawabannya hanya dua, tentu bukan karena ilmu itu lantas saya kaku. Tapi, saya kaku karena ilmu yang masih kurang dan belum belajar tentang kebijaksanaan.
Awal-awal belajar filsafat, saya diperkenalkan dengan istilah sophos yang merupakan potongan dari kata philo-sophos. Apa itu sophos? Kebijaksanaan. Seseorang baru bisa dikatakan filusuf jika bijaksana dalam tindakannya. Bahkan dikatakan kalau benar belum tentu bijaksana tapi bijaksana sudah pasti benar. Mengapa? Misalnya begini, ada kawan anda yang kurus. Terus anda memanggilnya tidak pakai namanya, tapi menggunakan kata “kurus” itu. “Hei kurus! Kemari!”. Apakah yang dikatakannya adalah kebenaran? Ya, kebenaran. Apakah bijaksana? Jawabannya tidak. Mengapa? Karena perbuatannya tidak sesuai dengan porsinya. Seseorang itu baru bisa dikatakan bijak kalau tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, bagusnya pakai diksi apa, dan lain-lain. Orang tidak dikatakan bijak karena mengeluarkan kata-kata bijak.
Bijaksana itu tidak lepas dari hati. Orang yang terbiasa menata hatinya akan lebih mudah hidup di realita ini. Karena ilmu itu sebenarnya untuk harmonisasi dengan kenyataan, bukan mengekspolitasi kenyataan. Toh, kita sendiri tidak suka jika ada orang yang tidak bijaksana, dibuat kaku dengan ilmunya. Terkadang kita memang harus menempatkan diri pada posisi orang lain, agar kita paham harus apa. Dan saya rasa memang bijaksana itu lebih dari ilmu itu sendiri. Mengapa? Karena orang berilmu belum tentu bijaksana, sedangkan orang bijaksana sudah pasti berilmu. Ilmu kita tidak akan ada artinya jika tidak dibarengi dengan hati yang tertata.
Kenapa harus hati? Karena hati yang melahirkan tindakan-tindakan itu. Kalau hati baik, maka tindakan yang keluar di sana pasti baik. Realitanya juga, orang menilai kita berdasarkan perilaku kita, tidak bertanya apa agama dan seberapa banyak buku yang kita baca. Memang benar bahwa membuat seluruh orang senang kepada kita adalah sebuah kemustahilan, tapi bukan berarti kita harus membuat orang-orang benci kepada kita dengan perbuatan buruk kita.
Wallahu a’lam